Suasana petang di Masjid Al-Hikmah terasa sejuk dengan hembusan angin senja yang lembut. Para jamaah berkumpul dalam keheningan setelah shalat maghrib. Tapi di sudut-sudut, terdengarlah bisikan-bisikan ringan.

Ahmad: (dengan nada heran) "Kamu dengar gak, Masjid kita menolak untuk menggunakan aplikasi Maslam?"

Fatimah: (mengangguk, dengan suara pelan) "Iya, aku dengar juga. Tapi kenapa ya? Bukankah itu akan memudahkan segalanya? Transparan, efisien, dan lebih mudah mengatur keuangan."

Rizwan: (dengan nada skeptis) "Mungkin mereka punya alasan tersendiri. Tapi jujur saja, aku merasa kurang nyaman dengan keputusan mereka itu. Apalagi setelah kita tahu betapa lancarnya administrasi di Masjid Al-Huda, masjid tetangga kita berkat Maslam."

Fatimah: (menggelengkan kepala) "Betul juga. Tadi aku dengar Ustadh Amir bilang, dengan Maslam, mereka bisa lebih fokus pada hal-hal yang lebih penting dalam pengelolaan masjid. Sedangkan Masjid Al-Hikmah masjid kita, terlihat masih kesulitan dalam hal administrasi."

Ahmad: (mengangguk setuju) "Benar juga. Tapi bagaimana kita bisa yakin bahwa uang yang kita sumbangkan ke Masjid kita benar-benar digunakan dengan baik? Tanpa sistem yang jelas, itu bisa rentan untuk disalahgunakan."

Rizwan: (mengangguk tegas) "Tepat sekali. Saya pikir, sebagai jamaah, kita berhak untuk mengetahui bagaimana uang kita dikelola. Kalau mereka enggan menggunakan teknologi untuk hal yang lebih baik, itu membuat saya ragu."

Para jamaah terdiam sejenak, memikirkan implikasi dari keputusan Masjid Al-Hikmah. Ketika adzan isya berkumandang, mereka beranjak menuju tempat shalat di masjid, namun bisikan-bisikan tersebut masih menggema dalam pikiran mereka, mempertanyakan keputusan yang diambil oleh pemimpin masjid tersebut.