Supaya masjid tetap hidup, tidak sekedar sarana ibadah shalat saja, melainkan berbagai kegiatan keagamaan bisa dilaksanakan di masjid, maka dibentuklah susunan takmir masjid. Mulai dari penasehat, ketua takmir hingga para seksi-seksi lainnya, tujuannya agar masjid berfungsi secara menyeluruh.
Tentunya, menjadi seorang takmir masjid merupakan tugas mulia, mengingat masjid adalah rumah Allah. Praktis, mengurus Masjid sama halnya merawat rumah Allah, harus ikhlas, loyalitas, dan kreatif serta inovatif agar Masjid tetap menjadi tujuan utama berbagai kegiatan agama.
Mereka yang menjadi takmir masjid pada umumnya warga yang sudah berkeluarga, sedangkan bagi warga yang diangkat sebagai takmir tidak semuanya dari keluarga berada. Bisa jadi seseorang yang menjadi takmir, karena dianggap memiliki kemampuan, sehingga diangkat sebagai salah satu takmir Masjid. Memandang kondisi ekonomi yang masih kurang, bisakah seorang takmir Masjid meminta gaji?
Dikutip dari kitab “Asnal-Mathalib”, jilid 1, halaman 472, diterangkan terkait hukum gaji untuk para pengurus Masjid. Hukum meminta gaji bagi seorang takmir Masjid diperbolehkan selama ada rekomendasi dari pemerintah setempat. Adapun gaji yang ia terima sebatas ujrah mitsli (upah sepadan), yaitu nominal gajinya menyesuaikan tingkat kerjanya, dalam hal ini seorang ketua takmir bisa mendapatkan gaji lebih besar dibanding upah pengurus lainnya.
Pendapat demikian juga didukung oleh imam Rofi’i dan imam Nawawi, dua ulama terkemuka dalam bidang fikih madzhab Syafi’i. Keduanya hanya berbeda dari sisi segi nominal upah yang diterima, akan tetapi hukum meminta gaji bagi para takmir Masjid boleh-boleh saja selama ada rekomendasi dari pemerintah setempat.
Akan tetapi, menurut Ibnu al-Shabagh, hukum pengurus Masjid mendapatkan gaji itu diperbolehkan meskipun tidak ada rekomendasi dari dari pemerintah. Keterangan yang beliau sampaikan sebagaimana di lansir dari kitab “tuhfatul-muhtaj”, jilid 6, halaman 290. Kendati menurut Ibnu Shabagh tidak memepermasalahkan tanpa adanya rekomendasi pemerintah, namun sebagai langkah kehati-hatian, lebih utama adanya rekomdasi pemerintah setempat.
Dengan diperbolehkannya para takmir masjid mendapatkan gaji, apakah termasuk bagi para muadzin (tukang adzan) juga boleh mendapatkan gaji?
Pada dasarnya untuk muadzin tidaklah berhak mendapatkan upah. Pasalnya adzan merupakan ibadah yang murni untuk memanggil seseorang untuk jama’ah, dan ini sudah disyariatkan semenjak dahulu masa Rasulullah, dilansir dari hadis yang disampaikan Utsman bin Abil Ash, Rasulullah SAW, bersabda:
“Ambillah muadzin yang mana dengan adzannya ia tidak mengambil gaji”(HR.Ahmad, 16270, dan Nasai, 680).
Hadis tersebut merupakan dalil tidak dianjurkannnya seorang pengumandang adzan untuk mendapatkan gaji dari adzannya. Akan tetapi, ada pendapat lain yang memperbolehkan bagi seorang muadzin untuk memperoleh gaji.
Dilansir dari kitab “Subulus-Salam”, jilid 1, halaman 128, diperbolehkan bagi seorang muadzin untuk mendapatkan gaji, namun ini berlaku dalam kondisi tertentu. Hal itu karena gajinya bukanlah untuk lantunan adzannya, melainkan karena perjuannya dia (muadzin) yang selalu siaga, sebagaimana gajinya orang yang ditugaskan sebagai mata-mata.
Sumber
https://www.ijenindonesia.com/hazanah/pr-6955549645/bolehkah-seorang-takmir-masjid-meminta-gaji-begini-kitab-asnal-mathalib-menjelaskan
https://maslam.id/
Maslam Apps : Digitalisasi Manajemen Masjid