Sebagai salah satu dari jutaan jamaah haji yang diberi kesempatan menapakkan kaki di Masjidil Haram, saya sering dibuat kagum oleh kemegahan tempat ini. Tapi di balik kekhusyukan ibadah, ada satu hal yang kerap membuat saya penasaran: bagaimana caranya mereka mengatur lalu lintas manusia sebanyak ini, hampir tanpa henti, dari fajar hingga ketemu fajar lagi?
Setiap langkah jama'ah diiringi suara tegas para Askar yang bertugas. "Ya hajji! Ya hajjah! Thoriiq!" teriak mereka, memberi komando agar jalur tetap lancar. "Sholli hina!" arahkan mereka, menunjukkan tempat bagi yang hendak shalat. "Thowaf hunak!" seru lainnya, menuntun arah jalan menuju lintasan tawaf.
Pernah saya berhenti di suatu titik karena menunggu istri yang sedang ke toilet. Saya diteriaki oleh Asykar untuk pindah, tapi saya hanya sedikit bergerak sambil mengatakan kalau saya menunggu istri. Dia hampiri saya kalau saya tidak boleh disitu, sambil menunjukkan arah kalau mau menunggu. Untung saat itu istri langsung terlihat jadi saya bisa langsung bergerak lagi. Semuanya tampak terkoordinasi dan penuh perhitungan. Awalnya saya mengira ini hanya soal pengalaman di lapangan atau inisiatif para petugas saja. Tapi karena rasa penasaran, saya mencoba mencari tahu lebih dalam.
Ternyata, di balik partisi-partisi plastik yang digeser dan instruksi yang bersahutan itu, terdapat sebuah sistem canggih. Masjidil Haram memiliki pusat kendali 24 jam sehari, yang menjadi semacam otak operasional yang memantau seluruh area masjid. Puluhan layar menampilkan pantauan kamera CCTV beresolusi tinggi, menjangkau hampir setiap sudut: dari area tawaf, jalur sa’i, pintu-pintu masuk, lorong toilet, hingga jalan kecil di pelataran masjid.
Tak berhenti di situ, lantai thawaf yang terlihat biasa-biasa saja ternyata dilengkapi sensor tekanan. Sensor ini secara real-time mendeteksi kepadatan jamaah. Semua data itu dikumpulkan, dianalisis oleh sistem yang telah dilengkapi kecerdasan buatan (AI), dan digunakan untuk memprediksi potensi penumpukan manusia.
Saya sering menyaksikan satu jalur tiba-tiba ditutup, sementara arus jamaah dialihkan ke lantai atas. Saya pikir itu keputusan mendadak. Tapi rupanya, AI di pusat kendali memberikan rekomendasi berdasarkan data terkini: menutup jalur tertentu, membuka jalur alternatif, bahkan mengirim petugas tambahan ke titik-titik rawan. Keputusan-keputusan ini tidak dibuat oleh intuisi semata, tapi berdasarkan analisis cepat dari sistem yang terus bekerja di balik layar.
Teknologi yang digunakan tidak berhenti pada kamera dan sensor. Ada aplikasi Nusuk digunakan untuk mengatur slot waktu masuk ibadah umrah, agar jamaah tidak datang serentak. Aplikasi ini juga membantu menghitung putaran tawaf, memberi panduan arah, dan bahkan dilengkapi fitur augmented reality. Saya juga mendengar adanya gelang pintar untuk memantau kesehatan dan posisi jamaah, serta robot AI yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar. Sayangnya saya belum sempat mencoba fitur-fitur tersebut secara langsung.
Para Askar di lapangan adalah ujung tombak dari sistem besar ini. Mereka bukan bekerja secara spontan, melainkan menjadi perpanjangan tangan dari pusat kendali. Dengan radio di telinga dan partisi plastik di tangan, mereka mengatur arus manusia dengan cepat dan tegas. Suara mereka mungkin terdengar keras, tapi justru itu yang menjaga semuanya tetap terkendali. Di tengah kerumunan jutaan orang, ketegasan adalah bentuk kasih sayang agar tak terjadi kekacauan.
Sebagai jamaah yang merasakan langsung atmosfer Masjidil Haram, saya belajar satu hal penting: mengelola kerumunan bukan hanya soal kecanggihan alat, tetapi juga soal kedisiplinan personil dan proses yang tepat dalam setiap kemungkinan situasi.
Pelajaran ini membuka mata saya bahwa rumah ibadah, di manapun berada, butuh pendekatan manajerial yang tertata. Bukan berarti kita harus memiliki sistem semutakhir Masjidil Haram, tapi kita bisa mulai dari hal-hal yang lebih terjangkau: penataan jalur masuk dan keluar, pengumuman yang jelas, pemetaan program ibadah, dan pengelolaan administrasi yang transparan.
Dari pemikiran-pemikiran serupa inilah saya dan beberapa teman sekitar setahun yang lalu memulai sebuah inisiatif bernama Maslam. Kami percaya bahwa setiap masjid, sekecil apa pun, memiliki peran besar sebagai pusat peradaban umat. Dan peran ini akan jauh lebih optimal jika didukung oleh sistem yang rapi, modern, dan mudah digunakan.
Maslam hadir sebagai platform digital gratis yang berfungsi layaknya sistem ERP dan alat bantu pengelolaan untuk masjid yang lebih baik. Tidak hanya membantu pengurus mengelola keuangan dan aset secara transparan, yang selama ini sering menjadi titik rawan kepercayaan jamaah, tapi juga membantu dalam perencanaan dan pelaksanaan program keumatan seperti Ramadhan, Qurban, hingga kegiatan sosial dan kolaborasi antar masjid. Platform ini dirancang agar mudah digunakan oleh pengurus di berbagai daerah, tanpa perlu latar belakang teknologi yang tinggi.
Alhamdulillah, hingga hari ini Maslam telah digunakan oleh lebih dari 1.200 masjid dan yayasan di seluruh penjuru Nusantara. Ini adalah langkah kecil yang kami yakini bisa memperkuat posisi masjid sebagai pusat ibadah yang modern, terbuka, dan akuntabel.
Kalau Masjidil Haram bisa mengelola jutaan manusia dengan AI dan sistem kendali canggih, maka masjid-masjid kita pun bisa mulai dengan satu langkah sederhana: menghadirkan sistem yang mendukung amanahnya. Menjadi rumah Allah yang benar-benar tertib, bermanfaat, dan menenteramkan bagi seluruh umat. Insya Allah.
Penulis : Habib Umar Alhabsyi, Ketua Pembina CITCOM
UA/28 Dzulqo'dah 1446 H
Makkah al-Mukarramah